Suhudi Kutub Utara pecah rekor hingga mencapai 38 derajat celsius, yang artinya lebih panas dibanding suhu rata-rata harian Jakarta. Rekor ini pun menjadi peringatan mengenai krisis iklim yang bisa berakibat buruk bagi kehidupan di Bumi. - metrotvnews.com
Sejak beberapa dekade terakhir, para pakar iklim terus mencemaskan dampak pemanasan global, khususnya yang menimpa kedua kutub bumi. Yang terutama diamati dan diteliti adalah kawasan Kutub Utara. Pasalnya, lapisan es di Kutub Utara terus menyusut drastis dalam 30 tahun terakhir ini. Lapisan Es Terus Menipis Pengukuran yang dilakukan 300 pakar iklim dari delapan negara yang lokasinya berbatasan dengan Kutub Utara menunjukan, dalam tiga dekade terakhir, lapisan es di lautan sekitar kutub menyusut sekitar 990 ribu kilometer persegi. Disebutkan, kawasan kutub kini mengalami pemanasan global lebih cepat dari kawasan lain di dunia. Para pakar iklim juga yakin, pemicu pemanasan drastis di kawasan kutub, adalah aktivitas manusia. Dalam beberapa dekade terakhir, emisi gas rumah kaca ke atmosfir terus meningkat drastis. Tidak Ada Lagi Es Pada Musim Panas di Kutub Utara Sinyal apa yang dilontarkan dari penyusutan drastis lapisan es di lautan Kutub Utara itu? Tentunya bukan pertanda yang baik bagi ekosistem. Karena itulah, dalam sebuah konferensi ilmiah di Hamburg, sekitar 500 pakar iklim mendiskusikan kemungkinan dampak yang bakal muncul dari penyusutan lapisan es di Kutub Utara tersebut. Peneliti iklim dari Institut Max-Planck untuk meteorologi di Hamburg, Jochem Marotzke mengatakan, menurut perhitungan, sekitar akhir abad ini, lapisan es itu pada setiap musim panas akan mencair seluruhnya. Memang di musim dingin lapisan es kembali terbentuk. Akan tetapi, di musim panas berikutnya seluruhnya kembali mencair. Apa yang diungkapkan Marotzke, tentu saja bukan berita bagus. Jika ramalannya tepat, artinya sekitar tahun 2080 mendatang, setiap musim panas di Kutub Utara tidak akan ditemukan lagi hamparan padang es. Sekarang saja, para peneliti dari institut penelitian kutub Alfred-Wegener di Bremerhaven, mencatat bahwa lapisan es di lautan sekitar kutub juga semakin tipis, setiap musim panas, menyusut sekitar 20 persen dalam 30 tahun terakhir. Demikian dikatakanChristian Haas, peneliti dari Bremerhaven. Permukaan Laut Akan Meningkat Laju penyusutan lapisan es di lautan sekitar kutub, diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun 2080 mendatang, sampai semuanya mencair. Dampaknya adalah meningkatnya permukaan air laut global. Dalam 20 tahun terakhir ini, permukaan air laut sudah naik rata-rata delapan centimeter. Jika semua lapisan es mencair, diperkirakan permukaan air laut akan naik rata-rata 90 centimeter. Pemicu drastisnya penyusutan lapisan es adalah pemanasan global yang dipicu aktivitas manusia. Pemanasan Global Terus Berlanjut Lebih lanjut peneliti iklim Jochem Marotzke meramalkan terus berlanjutnya pemanasan global. Perhitungan menunjukan, Kutub Utara memanas dua kali lebih cepat, ketimbang kawasan lainnya di dunia. Diperhitungkan adanya pemanasan antara 8 sampai 10 derajat Celsius, di kawasan lintang Kutub Utara. Dampaknya bagi manusia akan sangat besar. Dalam jangka panjang, artinya sampai abad mendatang, jika suhu rata-rata global naik antara tiga sampai empat derajat Celsius, lapisan es abadi di Greenland akan mencair seluruhnya. Sebagai akibatnya, permukaan air laut global akan naik rata-rata tujuh meter. Semua negara kepulauan kecil akan tenggelam. Kota-kota besar di kawasan pantai, sebagian juga akan lenyap. Para peneliti iklim memperkirakan, akibat perubahan drastis selama beberapa dekade, kerusakan yang terjadi pada sebagian ekosistem akan menetap. Sebagian lagi dapat dipulihkan atau paling tidak efeknya diminimalkan secara siginifikan. Tapi syaratnya, tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca juga dilaksanakan lebih efektiv lagi. Kutub Selatan Berbeda Jika di Kutub Utara diamati penyusutan drastis lapisan es, bagaimana kondisi di Kutub Selatan? Diketahui di kawasan Antartika terdapat iklim serta arus laut yang berbeda dari sistem yang mempengaruhi Kutub Utara. Karena itulah dampak pemanasan global di Kutub Selatan tidak sekuat seperti yang melanda Kutub Utara. Sejauh ini dapat diamati, di Kutub Selatan relatif tidak terjadi pencairan laisan es. Peneliti dari Institut Alfred Wegener di Bremerhaven, Christian Haas bahkan mengamati dampak sebaliknya. Menurut data, dalam 30 tahun terakhir ini, terjadi peningkatan lapisan es di lautan sekitar Antartika. Suhu Juga Akan Naik di Kutub Selatan Akan tetapi dalam dekade mendatang, suhu di kawasan Kutub Selatan juga akan meningkat. Apakah fenomena ini juga akan mencairkan lapisan es di Antartika? Menanggapi pertanyaan ini, para pakar iklim melontarkan pendapat yang berbeda-beda. Penyebabnya, kawasan antartika amat besar, dengan persyaratan iklim yang berbeda-beda untuk setiap bagian kawasannya. “Kawasan timur antartika lebih tebal dan tinggi. Karena itu, salju di kawasan tersebut dapat terakumulasi lebih banyak, dan menyebabkan peningkatan volume lapisan es. Sementara kawasan barat Antartika, sangat terpengaruh oleh arus Circum-Antartika, yang mengangkut air dengan suhu lebih hangat. Jadi di sana, terdapat kaitan lebih erat, antara pemanasan samudra dengan mencairnya lapisan es.“ Demikian dijelaskan Christian Haas. Lapisan Es di Kutub Selatan Stabil Juga Jochem Marotzke, pakar iklim dari Institut Max Planc untuk Meteorologi di Hamburg, mengatakan sulit untuk memperkirakan secara akurat, bagaimana dampak dari pemanasan global di Kutub Selatan. Hal ini dikarenakan terdapatnya proses yang saling bertolak belakang. Jika suhu lebih hangat, diperhitungkan volume hujan salju akan meningkat. Akan tetapi, diperkirakan juga, lapisan es di kaki gletsyer akan mencair. Proses mana yang akan menang belum diketahui. Tapi menurut model perhitungan, tidak diharapkan adanya perubahan drastis pada lapisan es di Kutub Selatan. Akan tetapi di sana, masih terjadi situasi yang sulit diramalkan. Hancurnya Ekosistem Tapi juga diingatkan, pemanasan global dan efek rumah kaca tetap akan berdampak besar, juga pada ketinggian muka air laut global. Jika ramalan pakar iklim terbukti, dalam 80 tahun mendatang di setiap musim panas, lapisan es Kutub Utara akan mencair seluruhnya, pastilah terdapat konsekuensi drastis bagi flora dan fauna di kawasan Kutub Utara. Akan terjadi kerusakan drastis pula bagi ekosistem yang khas untuk banyak organisme. Misalnya habitat kehidupan plankton, ikan, anjing laut atau beruang es. Demikian diungkapkan Iris Werner, biolog dari Universitas Kiel. Sebab organisme itu amat tergantung dari habitat lautan es di sekitar kutub. Jika setiap musim panas lapisan es mencair seluruhnya, artinya binatang-binatang ini kehilangan ruang hidupnya dan juga makanannya. Pada akhirnya banyak binatang khas kutub akan musnah. Apa dampak dari musnahnya sejumlah organisme kutub ini bagi kehidupan manusia, masih terus diteliti oleh para pakar. Tapi yang jelas, simulasi iklim yang dibuat para pakar menunjukan, jika lapisan es di kawasan kutub terus menipis, kawasan Eropa akan mengalami dampak yang tidak menyenangkan. Musim panas nantinya akan lebih kering, sementara musim dingin lebih hangat. Bahkan dalam cuaca yang tidak terlalu fluktuativ sekalipun, tetap saja kehidupan manusia di Eropa akan berubah drastis.
Duniapendidikan merupakan salah satu perantara yang tepat untuk memberi from CHEMISTRY CHEMISTRY at State University of Surabaya
- Sekitar 99% air tawar yang ada di Bumi berada di atas Greenland dan Antartika yang membeku. Namun kini, mereka mulai mencair ke laut dalam jumlah banyak. Normalnya, perlu ratusan hingga ribuan tahun bagi semua es yang ada di Bumi untuk mencair, tapi bagaimana jika ada suatu bencana yang membuatnya meleleh dalam waktu semalam?Permukaan laut akan naik setinggi 66 meter. Kota-kota pesisir seperti New York, Shanghai, dan London akan tenggelam dalam banjir besar-memaksa 40% populasi dunia untuk meninggalkan rumah mereka. Saat kekacauan terjadi di daratan, sesuatu yang menyeramkan juga berlangsung di bawah laut. Semua air asin akan menyusup dan mencemari cadangan air tawar di daratan. Artinya, cadangan air minum, irigasi, hingga sistem pembangkit listrik akan rusak. Baca Juga Sesuai Namanya, Zona Kematian di Everest Ini Kerap Memakan Korban Yang tak kalah penting, es di Greenland dan Antartika terbuat dari air tawar, jadi ketika mereka mencair, ada sekitar 69% cadangan air di dunia yang langsung menuju laut. Ini akan mendatangkan malapetaka pada arus laut dan pola cuaca kita. Pada Gulf Stream, misalnya. Ia merupakan arus laut kuat yang membawa udara hangat ke Eropa Utara dan bergantung pada air asin yang tebal dari Kutub Utara untuk berfungsi. Namun, jika banjir air tawar terjadi, itu akan mencairkan, melemahkan atau bahkan menghentikan arusnya sama sekali. Kemudian, tanpa udara hangat tersebut, suhu di Eropa Utara akan menurun drastis dan menciptakan zaman es mini. Beralih dari Greenland dan Antartika, apa yang akan terjadi dengan 1% es yang bukan bagian dari mereka? Gletser di Himalaya mungkin akan menimbulkan ancaman terbesar karena apa yang terperangkap di dalamnya senyawa beracun dichlorodiphenyltrichloroethane atau DDT. Ketika mencair, gletser akan melepaskan senyawa tersebut ke sungai, danau, cadangan air tanah dan kemudian meracuninya. Selain gletser, 1% es tadi juga meliputi permafrost yang berada di bawah tanah-kebanyakan di tundra Arktika. Mirip dengan gletser Himalaya, salah satu masalah yang muncul dengan pencairan permafrost adalah keracunan merkuri. Selain itu, bahan organik dalam permafrost adalah makanan lezat untuk mikroorganisme. Setelah mencernanya, mereka akan mengeluarkan gas rumah kaca paling ampuh, karbondioksida dan metana. Menurut para ilmuwan, ini akan menggandakan jumlah gas rumah kaca yang ada saat ini di atmosfer-menyebabkan kenaikan suhu global 3,5 derajat Celsius. Tidak cukup hanya itu, uap dari suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan kekeringan massal dan iklim seperti gurun. Semua uap air ekstra di atmosfer juga akan memicu badai dan banjir yang lebih sering dan kuat. Es dunia mencair dalam satu malam memang terdengar mustahil, tapi menurut peneliti, jika kita tidak melakukan hal apa pun untuk mencegahnya dan suhu meningkat hingga 1 derajat Celsius, maka efek perubahan iklim yang sudah kita lihat saat ini mungkin benar-benar tidak bisa dikendalikan. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Jangananggap karena Indonesia jauh dari kawasan gunung es, maka tidak akan terkena dampak dari mencairnya lapisan es di Kutub. Jangan anggap karena Indonesia jauh dari kawasan gunung es, maka tidak akan terkena dampak dari mencairnya lapisan es di Kutub. Kamis, 14 Oktober 2021; Cari. Network. Tribunnews.com;
- Area es terakhir di wilayah Kutub Utara yang dikenal dengan lapisan esnya yang tebal, mulai mencair akibat perubahan iklim. Disebut The Last Ice Area, lapisan itu terletak di utara Greenland dan kepulauan Arktik Kanada. Hewan seperti beruang kutub dan walrus sangat hidup bergantung pada lapisan es tersebut untuk berburu makanan dan membangun sarang. Namun, meningkatnya suhu global membuat wilayah yang biasanya selalu tertutup es sepanjang tahun itu menjadi sangat sedikit dan jarang. Baca Juga Lebih dari 150 Ribu Warga di Pesisir India dan Pakistan Diungsikan dari Jalur Badai Biparjoy Area es terakhir dianggap sebagai salah satu tempat terakhir, di mana hewan-hewan ini dapat mencari perlindungan karena kondisi di daerah sekitar menjadi tidak ramah. "Daerah ini telah lama diharapkan menjadi tempat perlindungan utama bagi spesies yang bergantung pada es," kata Kristin Laidre, profesor penulis penelitian, dikutip dari Minggu 4/7/2021. Area es terakhir di Kutub Utara. [WWF]Seperti bagian lain dari Kutub Utara, es di wilayah ini secara bertahap menipis selama beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, meskipun lapisan es sedikit lebih tebal dari sebelumnya, tapi citra satelit menunjukkan rekor terendah cakupan hanya 50 persen pada 14 Agustus 2020. Data menunjukkan sekitar 80 persen pencairan es disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan cuaca, seperti angin yang memecah es. Baca Juga Perubahan Iklim Buat Yordania Alami Kekeringan dan Krisis Air Bersih Sementara itu, 20 persen lainnya berasal dari penipisan es laut jangka panjang akibat pemanasan global.
Yaknihampir semua es di kutub utara akan lenyap dalam kurun waktu singkat 2010 hingga 2012. dan kini 2011 tinggal menghitung bulan untuk melihat dampak pemanasan global yang belum mencapai titik
Thinkstock Bongkahan es mencair di Ilulissat Icefjord, Greeland. – Sekelompok peneliti Inggris menemukan fakta bahwa sekitar 28 triliun ton es telah menghilang dari permukaan bumi sejak 1994. Dilansir dari Bussiness Insider, para ilmuwan dari Leeds University, Edinburgh University dan University College London, menganalisis survei satelit dari gletser, gunung, dan lapisan es antara 1994 hingga 2017 untuk mengetahui dampak dari pemanasan global. Baca Juga Studi Setengah dari Laut Dunia Telah Terdampak Perubahan Iklim Studi yang dipublikasikan pada jurnal Cryosphere Discussions ini menggambarkan hilangnya es dalam jumlah “mengejutkan”. Peneliti mengatakan, mencairnya gletser dan lapisan es dapat menyebabkan permukaan laut naik secara dramatis-kemungkinan mencapai satu meter pada akhir abad ini. “Setiap sentimeter kenaikan permukaan laut, berpotensi mengusir’ satu juta orang yang tinggal di wilayah yang rendah,” kata Profesor Andy Shepherd, direktur Centre for Polar Observation and Modelling Leeds University. Pencairan es yang dramatis tersebut juga memiliki beberapa konsekuensi, termasuk gangguan pada biologis perairan Arktika dan Antartika. Juga mengurangi kemampuan Bumi untuk memantulkan radiasi sinar matahari kembali ke luar angkasa. Penemuan ini sesuai dengan skenario kasus terburuk yang diprediksi oleh Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC. “Sebelumnya, peneliti hanya mempelajari area individu—misalnya di Greenland atau Antarktika—di mana es–es mencair. Namun, ini pertama kalinya ada studi yang melihat hilangnya es dari seluruh dunia. Apa yang kami temukan sangat mengejutkan,” papar Shepherd. Baca Juga Wolverine Terlihat Kembali Setelah Menghilang Selama 100 Tahun Penemuan ini dipublikasikan seminggu setelah para ilmuwan dari Ohio State University menemukan fakta bahwa lapisan es di Greenland yang telah mencair, tidak bisa kembali pulih. Michalea King, pemimpin studi dari Ohio State University mengatakan bahwa es telah hilang dalam jumlah besar, beberapa tahun terakhir. Ini menghasilkan perubahan pada bidang gravitasi Greenland. Greenland kehilangan sekitar 280 miliar metrik ton es setiap tahunnya. Es yang mencair tersebut, mengalir ke laut setiap tahunnya dan menjadi penyumbang terbesar kenaikan permukaan laut global. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
. 479 98 462 47 21 44 211 395